Awal pertama, saya merasa resah akan pendidikan anak-anak saya padahal saya sendiri adalah seorang pendidik dengan gelar Sarjana Pendidikan jurusan Pendidikan anak. Banyak ilmu yang kudapat, dari bangku Universitas Negeri Jakarta hingga mengajar dimana-mana tapi aku masih resah kepada anak-anak saya sendiri. Panggilan-panggilan yang kuterima saat aku remaja untuk memilih menjadi seorang Guru yang berdedikasi tapi nyatanya hilang arah dan hilang tujuan ketika mengalami situasi nyata pendidikan sekarang. Mengapa?
Karena semua pendidikan yang diberikan dalam negara kita sendiri ternyata banyak sekali yang menekankan semua beban dan tugas kepada anak. Banyak hasil yang ingin dicapai tapi melupakan sebuah proses dan karakter dari seorang anak itu sendiri. Sayapun yakin bahwasanya setiap anak sudah memiliki fitrah hidupnya sehingga kita sebagai pendidik hanya perlu menuntun anak menuju perkembangan yang maksimal bukan sebagai pendidik yang mendiktekan anak untuk duduk, diam, catat dan menghafal. Metode pendiidkan inilah yang makin meresahkan saya. Antara idealisme dan kenyataan sangatlah berbeda.
Saya sebagai seorang guru di sekolah sewaktu awal mempunyai idealisme yang mengutamakan seorang anak yang memiliki mata cemerlang akan potensi yang meraka miliki, tapi nyatanya malah membuat anak tertekan dengan beberapa stigma-stigma dengan pelabelan “Anak Pintar”, “Anak Hebat”, “Anak Tidak Mampu”, “Anak Bodoh”. Hati nurani saya menolaknya dan sesungguhnya hal tersebut tidaklah cocok untuk pendidikan karakter anak. Dari pelabelan semacam itu membuat anak merasa ingin terus mendapatkan pemikiran karena akan rasa takutnya dan rasa lebih atau adiktif bagi anak untuk sempurna demi dunia luar. Sayapun juga merasakan sebagai guru banyak mendapatkan tuntutan dari luar dan harus bisa menghasilkan anak didik saya yang setipe yaitu patuh, disiplin, dan tunduk terhadap peraturan. Situasi dan keadaan ini makin meresahkan saya sebagai seorang pendidik anak, sehingga saya akhirnya mengundurkan diri sebagai Guru di salah satu Institusi pendidikan karena juga lebih ingin membersamai anak-anak dengan lebih bermakna. Saya lebih ingin mengutamakan pendidikan anak saya bersama saya dengan keresahan yang makin menjadi dalam diri saya.
Saya semakin risau untuk mencari pendidikan dan metode yang mana tepat untuk anak-anak saya dan idealisme saya. Saya mencari tahu sehingga menemukan harta karun yang berharga dengan bertemu seseorang yang banyak mengubah sudut pandang saya terhadap dunia pendidikan anak. Harta karun tersebut ialah Metode Montessori. Betul, Metode Montessori akhir-akhir ini sangatlah booming sekali di timeline social media bagi para-para ibu muda yang ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya . Metode untuk anak dengan segala apparatusnya yang dapat dibilang sangatlah mahal. Just why? I just wondering. Ternyata, ketika mengenal metode tersebut, saya takjub, saya terpesona, saya terkagum-kagum bukan dari apparatusnya tapi filosofinya yang sangat menghormati akan pilihan-pilihan anak.
Mengapa harus Montessori? Saya pun mencari sejarah dari metode itu tercipta. Montessori tercipta oleh Dr. Maria Montessori yang dari kepeduliannya terhadap pendidikan anak di jamannya. Beliau melihat metode pendidikan yang sangat usang, sangat konvensional, warisan dari Revolusi Industri yang ingin menciptakan manusia-manusia yang patuh terhadap sebuah sistem atau atasannya. Dr. Maria Montessori pun meyakini bahwa pendidikan konvesional itu sangatlah bertentangan dengan kebutuhan mendasar manusia. Akhirnya beliau pun menciptakan Metode Montessori yang ditujukan untuk membebaskan jiwa sang anak agar dapat mengembangkan potensi diri anak sehingga terciptalah sebuah kepuasan hati, perasaan nyaman dan bahagia dalam diri anak. Hanya satu kata just WOW, ternyata dua kata.
Betul, saya jatuh cinta dengan Filosofi Montessori yang mengutamakan akan kebebasan anak. Dr. Maria Montessori menghargai bahwa anak memiliki sifat nurture sejak lahir yang ternyata memiliki banyak potensi jika diberikan metode yang tepat. Itulah idealisme saya, saya pun ingin sekali memberikan stimulasi yang tepat bagi anak-anak saya sendiri sehingga mereka semua dapat memaksimalkan semua potensi dalam diri mereka. Prinsip Montessori yang merupakan Follow The Child ini membantu saya mengubah sudut pandang saya dari kacamata anak, berhenti menjadi orang dewasa yang akan tahu segalanya. Pentingnya menghormati pilihan anak dan adanya keteraturan akan membuat anak makin merasa aman dan nyaman, sehingga akan mengeluarkan jiwa sesungguhnya dalam diri anak. Thats why i choose to be A Montessorian.
Dari filosofi itulah saya pun berniat dengan belajar sungguh-sungguh dengan mendaftar di sekolah Diploma Montessori Online di salah satu institusi. Dari Filosofilah saya lebih ingin mengaplikasikan metode tersebut dalam kehidupan sehari-hari anak dan menyesuaikan dengan prinsip montessori yang mengutamakan pilihan anak, yaitu menyediakan apparatus berserta kebutuhan furniture yang menyesuaikan dengan tinggi anak. Semua itu adalah bonusnya bagi saya dalam hal menyediakan apparatus guna memaksimalkan metode montessori itu sendiri, dan hadiahnya adalah Filosofi itu sendiri.
It Takes A Village to Raise a Children, dari kata ini pun menyadarkan saya jika anak-anak dapat memaksimalkan potensinya, kita pun butuh support system dari lingkungan mereka. Hal inilah yang akan menjadi poin penting dalam hidup saya. Ketika anak-anak berhasil, maka butuh dukungan baik dari dalam dan luar. Pertama suami saya, saya dan suami sudah memiliki satu frekuensi dalam pendidikan anak-anak kami. Kedua, yaitu masyarakat sekitar di sekeliling anak, jika anak-anak saya sedang melakukan aktivitas tersebut artinya saya pun juga siap mengajak anak-anak di sekitar kami melakukan kegiatan tersebut dengan prinsip dan filosofi montessori itu sendiri. Ketiga, jika berhasil membuat lingkungan yang berhasil mensupport itu semua saya ingin membuat kurikulum yang sesuai dengan tingkat umur mereka, karena saya yakin tiap anak itu adalah unik yang memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda.
Disinilah saya ingin mengikuti Program dari Sekolah Salah Didik Kunci untuk memberikan support dalam hal merefleksikan pendidikan yang saya alami serta belajar berani membuat gagasan baru dalam dunia pendidikan. Terakhir saya pun ingin sekali melakukan diskusi dan sharing bersama untuk berbagi ilmu dalam dunia pendidikan saat ini. Semoga dengan pemaparan essay yang saya buat ini memberikan saya kesempatan menjadi salah satu peserta yang terpilih. Terakhir, ini semua untuk anak-anak saya, karena dari sinilah saya belajar bukan anak saya yang belajar. Dari anaklah saya lebih ingin menghargai akan pilihan hidup sang anak.